Senin, 23 Desember 2013

AUTOBIOGRAFI ARTIKA DWI JAYANTO



1
Hari ini, sambil menunggu balasan pesan dari tika, aku mencoba menulis. Menulis tentang kenangan kami yang sudah tiga tahun ini sambil di temani “kau Auraku” –nya Ada Band. Semula bermula di tahun 2010.
Tanpa kita sadari, dunia emang dipenuhi dengan keajaiban. Ajaib?? Iya, kami (aku dan tika) pernah satu sekolah, Cuma gak pernah saling tegur, minimal bilang “hey”. Tapi baru bisa jumpa disaat aku di Banda Aceh, dan dia masih ada di desa kecil, yang sebelumnya aku sebut sikabu, dipedalaman sumatera barat (sekarang baru tau, kalo nama kampung itu BLKM). Dan masih banyak lagi keanehan dalam dunia yang penuh rahasia ini.
Satu sekolah, satu angkatan gak bisa sebagai acuan kitanya saling kenal. Dulu pernah satu kelas bareng, dikelas OSPEK yang umurnya gak lebih dari tiga hari. Dihari ke-empat terdamparlah tika ke kelas yang jika diurutkan, kasta kelima, x-5. Sementara aku tetap kasta pertama, x-1. Selama 3 hari dikelas yang sama, kami terlalu sibuk menjadi  “manusia antah barantah” yang di komandoi oleh senior (kakak kelas). Banyak sih, kerjaan kami menjadi manusia antah barantah itu, mulai nyiptain “liyel-liyel”, pake kaos kaki sepak bola, diajari cara baris-berbaris yang dari SD gak pernah beda, sampai minta tanda tangan. Untuk yang terakhir, sampe sekarang tetap gak tau tujuannya apa. mungkin tanda tangan senior ibarat air di gurun pasir, sedangkan kami terdampar didalamnya. Gila.
Selanjutnya di kelas dua sampai kelas tiga, aku terjebak dijurusan yang katanya jurusan orang-orang pintar, IA. Sementara tika, mungkin pergaulan sosialnya kurang, maka masuk lah ke kelas yang bisa memperbaiki jiwa sosialnya, IS. Dari gambaran diatas, jelas, kami masing-masing terlalu sibuk urusan sendiri-sendiri. Aku sibuk meneliti pake mikroskop, tikanya sibuk menanta jiwa sosialnya. Mungkin ada sekali dua kali, tika melirik-lirik aku gitu,  cuma pada saat itu, “whatever lah”.
2
Jumat ini, ku lanjutkan menulis kisah yang sempat terbangkalai semalam karena “menemani” gadis yang suka ngelirik waktu SMA itu. Walaupun ditelpon, tetap saja namanya menemani kan? OK, sampai dimana sih? Oya, Kami selesai sekolah, tahun 2006. Setalah 4 tahun, barulah tahun 2010 kami mejalin “komunikasi”. Bermula dari add Facebook (baru tau kalau FB-nya tika itu dibuatin kawannya. –katrok) selanjutnya chatting, tukaran nomor HP, sms-an, telponan, jumpa, dan Nikah deh. Untuk yang terakhir doain ya. Amin. Dari komunikasi itu, aku mulai tau sedikit-sedikit tentang kebiasaanya, mulai keluarganya yang suka jengkol, hobinya yang suka tidur siap shalat subuh, sampai lagu kesukaannya, sampai teman-temannya. Aku rasa percuma saja dia ambil jurusan sosial dulu, toh temannya dari dulu, itu-itu saja, gak beda. Dia betul-betul gagal menjadi anak sosial seutuhnya.
Hampir lupa, Melalui tulisan ini, terimakasih kepada Mark Zuckerberg yang sudah “mencomblangi” kami dangan Karyanya. Andai saja gak ada Mark, pasti kami pedekate nya memakan waktu bertahun-tahun. Coba bayangin, pasti kirim-kirim surat pake perangko Rp 3000 trus suratnya pake kertas pink di ditulis tangan atau dimesin ketik, gak tau lah. Yang pasti, tika duluan yang ngirim surat ke aku kalau seandainya iya kami di ”zaman baholak”.
Selanjutnya, setelah “terpisah” sekian lama, kami berjumpa waktu aku jalan bareng kawan-kawan  SMA  aku dulu, yang katanya “pintar-pintar”, sedangkan dia bareng temannya. Iya, mereka cuma berdua. Kami aja sampai 10 orang.  Dari sini Nampak lagi kegagalannya sekolah di jurusan sosial dulu. Masak kawan cuma satu. Parah, kayaknya ini orang nyontek aja di jurusan sosial dulu. Tenang, masih banyak kok kegagalannya sekolah di sosial dulu yang akan aku ceritakan. Hehehehe.
Di perjumpaan pertama itu, aku langsung sms dia, aku bilang kalau aku melihat nya bareng teman. Karena mungkin matanya yang bintitan, atau sok jual mahal, atau juga gak pernah lihat Manusia kayak aku, dibilangnyalah kalau dia gak lihat aku. Setelah pertemuan itulah, kami sering sms-an. Mulai dari basa basi, sampai ke agenda aku yang mau berkunjung ke rumah salah seorang guru waktu SMA dulu.

3
Setelah janjian buat bareng kerumah guru SMA, aku gak tau apa kata-kata pertama kali yang aku ucapkan waktu jumpa dia. “ah, ngapain dipikirkan. Kita liat aja ntar”, gitu aku bilang dalam hati. Coba tebak, apa yang pertama kali aku ucapkan? “eh sombong nyo” (eh, sombong kok). Gila. Nampak amat kalo aku nya grogi. Masak sama orang yang pertama kali jumpa setelah sekian lama, kok sombong??? Seharusnya kan, hei, kok telat amat, atau apa kabar??? Hai ganteng gak aku???. Untuk yang terakhir gak usah ditanya, emang udah ganteng dari sononya. Hahahaha.
Tau gak gimana respon Tika atas “kata-kata gila” aku barusan? “Eh, mana ada sombong”. Dia ternyata juga grogi. Grogi karena apa coba??? Ganteng? Tampan??? Atau dia grogi pengen di “tembak” langsung kali ya??? Hahahahaha. Selanjutnya setelah kami selesai silaturrahim di rumah Guru, aku diajak mampir kerumah “mertua masa depan” aku. Setelah dari rumah Tika, aku diajaknya kerumah kawan kelas, rezi namanya. Rezi ini cewek kampungnya tika, yang beruntung hidupnya, - sekelas sama aku. Aku dengan santai, menerima ajakan Tika itu. Masalahnya, aku terkejut tiba-tiba tika pengen dibonceng sama aku. “Agresif amat ini cewek” kataku dalam hati. Hahahahaha
Ya, untuk menyenangi hatinya, aku membonceng kerumah Rezi. Cuma waktu dijalan pulang selesai berkunjung kerumah rezi, aku tiba-tiba “kesurupan”. Kenapa aku tiba-tiba mengajak Tika kepantai? Sial. Tawaran aku yang menarik, ditolak Tika dengan alasan, ada kawan yang akan berkunjung kerumahnya siang itu. Aku mah gak kecewa, Cuma sayang aja dia melewatkan kesempatan jalan ke pantai bareng aku. Kesempatan yang gak akan datang untuk kedua kalinya.
4
Entah gak tau gimana waktu berjalan, semua berjalan sungguh cepat cepat, secepat masa liburan kuliahku yang akan habis. Siang itu, tika mengajak kepantai. Mungkin menyesal karena menolak ajakan aku tempo hari. Cuma siang itu, aku harus booking tiket buat balik ke Banda Aceh. Cuma sebagai laki-laki yang memiliki aroma jantan, tak tega aku membuat cewek manja nan egois kayak tika  jadi kecewa. Dengan jantannya aku sempatkan waktu sorenya pergi ke pantai. Sunggguh senang tika waktu itu. Aku berpikir apakah dia gak pernah melihat pantai. Atau dia cewek polos yang mengira kalau pantai itu surga. Karena melihat wajahnya yang senang itu. Cuma, kali itu gak aku jelaskan sama dia, walau dimana pun, baik hutan, sungai, taman, atau pasar sekalian akan jadi surga kalau aku ada disampingnya. Dipantai sore itu, aku ditraktir tika minum air kelapa pakai susu. Entah kerjaan iseng siapa yang nyiptain kuliner aneh itu. Sungguh aneh rasa air kelapa “diselingkuhin” pake susu itu. Atau gara-gara aku gagal menjadi cowok tampan, karena di traktir cewek. Eh, jangan salah mikir dulu, aku ditraktir cewek (tika) karena dia mau menepati janjinya. Janji mendekati aku. Janji buat bisa jalan dengan ku. Dan janji biar bisa melihat wajahku yang teduh. Selamat buat dia yang sudah berhasil memaksa ku  gagal jadi seorang cowok seutuhnya.
Dipantai waktu itu, aku kembali “kesurupan”, ketika melihat wajahnya. Wajah yang minta aku memproklamirkan status kami yang terpecah belah, menjadi “Negara Kesatuan”. Cuma aku kembali sadar, ketika ada tokoh proklamator lain yang diharapkannya, senior di SMA dulu. Sial.
 Setelah puas dipantai, kami kembali pulang, diliputi rasa cemas sebab maghrib sudah datang. Maghrib itu aku masih dijalan bersama tika. Rasa cemas bertambah, seakan jalan pulang semakin jauh. Dan makin bertambah ketika orangtuanya menelpon. Saat itu, bukan aku saja yang cemas, dia kayaknya sama. Takut dimakan ayahnya ketika sampai dirumah. Dimakan sekaligus mungkin. Jam 7 malam lewat, aku sampai dirumahnya. Waktu itu, aku tiba-tiba menjadi seorang gladiator di collosium Roma. Sungguh berani aku. Berani mati dari terkaman kata-kata ayah ataupun ibunya. Seketika ibunya membuka pintu, aku langsung minta maaf. Menyesal telat pulang. Ibunya senyum. Dari wajah beliau aku dapat menyimpulkan, sebesar apapun salah kita, semua dapat ditebus dengan rasa tanggungjawab. Pada saat bersamaan aku melihat wajah tika, wajah yang berterimakasih. Berterimakasih telah diselamatkan dari terkaman orangtuanya. Terimakasih ayahku, atas ilmu tanggungjawab yang engkau ajarkan dulu.
5
Hari itu sabtu, 18 September 2010. Hari terakhir aku dirumah, besoknya aku akan berangkat ke Banda Aceh lagi melanjutkan kuliah. Sebelum aku balik, keluargaku mengajak wisata ke pemandian umum. Ini bukan ideku, tapi ide adik-adikku. Ntah apa maksudnya ngasih ide ke Pemandian umum, mungkin cita-citanya pengen menjadi Bay Watch yang bisa menyelamatkan orang hanya dengan modal pandai berenang. Entahlah. Cuma disini, bukan tentang adik-adikku yang absurd itu yang aku ceritakan, tapi tentang aku yang akan sangat sibuk. Mulai dari menyiapkan mental, hati, dan keyakinanku, karena malamnya aku akan memproklamirkan kehendak rakyat. Iya, rakyat itu bernama hati. Maka, biar aku gak tegang membaca “naskah” ploklamasi, aku ikut bergabung dengan adik-adikku di pemandian umum itu, biar bisa fresh dan siap buat malamnya. dan sorenya baru kami pulang.
Malamnya, hujan sangat lebat. Alam waktu itu menguji nyaliku. seakan alam berkata “hai tampan, apakah kau yakin menyatakan cinta engkau malam ini?.” Aku jawab dengan lantang “yakin”. Aku tak sedikitpun ciut terhadap alam kali itu, bermodalkan jaket tebal biru, aku mengendarai motor menuju rumahnya. Ditengah jalan, hujan semakin lebat yang membuatku berhenti untuk sementara di rumah penduduk didepan PT Sang Hyang Seri. Untuk kedua kalinya alam mengujiku, “sudah pulang saja, kan gak harus malam ini !” timpal alam. Cuma aku semakin yakin kalau inilah hari yang tepat. Langsung aku balas kata-katanya “Harus malam ini”

6
Sesampai dirumah tika, aku kedinginan. Jaket basah, sampai maaf “celana paling dalamku” juga basah. Tika hari itu pake kaos putih lengan pendek dengan motif tikus. Anggun, cantik, tapi agak grogi . Langsung aja aku kasih flashdisk yang berisi film. –modus. Tika mempersilahkan aku duduk. Duduk diteras kami. Tika kedalam membuatkan teh manis hangat untuk dihidangkan ke aku. Setelah aku meminum teh manis yang ternyata buatan Ibunya itu, aku langsung menyatakan kalau aku sangat ingin dia jadi pendamping hidup masa depanku. Aku mengucapkannya dengan yakin tanpa ragu sedikitpun. Tika mempermainkan perasaan ku kali itu. Aku pernah baca, cewek gak akan langsung mengiyakan ketika di “tembak”, walaupun dia pengen bilang iya. Dasar cewek, watakmu itu gak berubah dari zaman Siti Hawa sampai kiamat.
Tika masih saja grogi ketika aku tatap dalam matanya. Tika mulai memengang rambut keritingnya untuk diikat. Cuma terakhir tika bilang juga, kalo dia juga pengen seperti yang aku inginkan. Sah kami malam itu, disaksikan gerimis hujan dan secangkir teh hangat yang tergeletak dimeja.
Setelah prosesi proklamasi malam itu, bahagia, lega rasanya. Aku yakin tika merasa disurga walaupun dikamar busuknya. Aku bisikan ke hati tika sepanjang jalan pulang, “terimakasih cintaku, kepercayaannya, aku akan membahagianmu mulai sekarang sampai selamanya.”
7
Minggu siang, aku besiap-siap balik ke Banda Aceh. Ditemani ayahku,menunggu bus. Seketika tika dan adiknya, Reno datang. Reno yang semalam aku sangka adiknya yang laki-laki, ternyata cewek. Kami bercerita-cerita lucu, sambil ketawa. Mulai dari kawannya reno, sampai ke kuliah. Akhirnya bus Kurnia jurusan Padang – Banda Aceh memisahkan kami. “Sampai jumpa lagi, insyaAllah aku balik secepatnya”. Kami tau, gimana perasaan Nabi Adam As dan Siti Hawa dipisahkan. Itu yang kami rasakan saat itu. tak ada hal lain yang dapat kami lakukan selain berusaha untuk selalu bersama dikemudian hari. Tetap sabar, semua akan indah dan bahagia pada akhirnya. Seperti bahagia Nabi Adam dan Hawa di surga sekarang ini.
-------Terimakasih, sampai saat ini kita masih bertahan. Semakin hari, kita semakin kuat---------
Selamat ulang tahun, Artika Zalni.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar