Sabtu, 13 November 2010

Istana Pagaruyung


Istano Basa yang lebih terkenal dengan nama Istana Pagaruyung, adalah sebuah istana terletak di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar Sumatra Barat. Istana ini merupakan obyek wisata budaya yang terkenal di Sumatera Barat.

Istano Basa yang berdiri sekarang sebenarnya adalah replika dari yang asli. Istano Basa asli terletak di atas Bukit Batu Patah itu dan terbakar habis pada sebuah kerusuhan berdarah pada tahun 1804. Istana tersebut kemudian didirikan kembali namun kembali terbakar tahun 1966.

Proses pembangunan kembali Istano Basa dilakukan dengan peletakan tunggak tuo (tiang utama) pada 27 Desember 1976 oleh Gubernur Sumatra Barat (waktu itu Harun Zain). Bangunan baru ini tidak didirikan di tapak istana lama, tetapi di lokasi baru di sebelah selatannya. Pada akhir 1970-an, istana ini telah bisa dikunjungi oleh umum.

Pada tanggal 27 Februari 2007, Istano Basa mengalami kebakaran hebat akibat petir yang menyambar di puncak istana. Akibatnya, bangunan tiga tingkat ini rata dengan tanah. Ikut terbakar juga sebagian dokumen, serta kain-kain hiasan. Diperkirakan hanya sekitar 15 persen barang-barang berharga ini yang selamat. Barang-barang yang lolos dari kebakaran ini sekarang disimpan di Balai Benda Purbakala Kabupaten Tanah Datar.

Biaya pendirian kembali istana ini diperkirakan lebih dari Rp 20 miliar.

Harta pusaka Kerajaan Pagaruyung sendiri disimpan di Istano Silinduang Bulan, 2 kilometer dari Istano Basa.

Sekilas tentang Kerajaan Pagaruyung

Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini berasal dari ibukotanya, yang berada di nagari Pagaruyung. Kerajaan ini didirikan oleh Adityawarman pada tahun 1347. Pagaruyung menjadi Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri.

Kerajaan Pagaruyung didirikan oleh seorang peranakan Minangkabau – Majapahit yang bernama Adityawarman, pada tahun 1347. Adityawarman adalah putra dari Adwayawarman dan Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya. Ia sebelumnya pernah bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang.

Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, Kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).

Adityawarman pada awalnya bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit dan menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, seperti Kuntu dan Kampar yang merupakan penghasil lada. Namun dari berita Tiongkok diketahui Pagaruyung mengirim utusan ke Tiongkok seperempat abad kemudian. Agaknya Adityawarman berusaha melepaskan diri dari Majapahit.

Kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menumpas Adityawarman. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.

Pada awal abad ke-19 kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.

Dalam satu pertemuan antara keluarga kerajaan Pagaruyung dan kaum Padri pecah pertengkaran yang menyebabkan banyak keluarga raja terbunuh. Namun Sultan Muning Alamsyah selamat dan melarikan diri ke Lubukjambi.

Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Muning Alamsyah, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda akan membantu berperang melawan kaum Padri dan Sultan diangkat menjadi Regent Tanah Datar mewakili pemerintah pusat.

Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa dan Maluku. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Yang Dipertuan Minangkabau Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Kerajaan Pagaruyung, ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Sultan dibuang ke Betawi, dan akhirnya dimakamkan di pekuburan Mangga Dua – Jakarta.

http://travelyuk.wordpress.com/2010/05/23/istana-pagaruyung/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar